Para warga keturunan Arab Amerika yang sukses telah berkunjung ke seantero Timur Tengah, dari Kuwait sampai Libya, melalui program yang bernama U.S. Speaker Program. Berkomunikasi dengan para audiens baik secara langsung maupun virtual, mereka membagikan pengalamannya selama tinggal di Amerika. Berikut beberapa kisahnya:
‘Mosaik Amerika’
Sebagai upaya respons terhadap serangan 11 September, Zainab Al-Suwaij bersama rekannya mendirikan organisasi nirlaba American Islamic Congress. Organisasi ini mengkhususkan diri untuk menyuarakan masyarakat sipil dan hak-hak sipil, memperluas penerimaan dan menggerakkan suara-suara moderat dalam komunitas Muslim Amerika.
Pertanyaan yang kerap dia terima seusai pidato adalah, “Pernahkah Anda mengalami diskriminasi di AS karena memakai hijab?”
Jawabnya: “Tidak.”
“Saya adalah bagian dari mosaik Amerika, yang memadukan budaya, etnis, dan kami semua bangga menjadi diri sendiri dengan asal-usul kami, serta sebagai warga AS yang penuh rasa bangga,” tuturnya.
Al-Suwaij bermigrasi ke AS dari Irak untuk memulai hidup baru sejak timbul pemberontakan terhadap Saddam Hussein di tahun 1991. Menjadi orang Arab Amerika telah memberinya kesempatan menghargai identitas “gabungan”, menikmati demokrasi dan beribadah “dalam sebuah kebebasan yang tidak bisa saya dapatkan sebelumnya,” tambahnya.
“AS adalah sebuah negara yang menghargai Anda sebagai manusia dan juga memberi Anda kesempatan untuk meningkatkan diri sebagai seseorang selain juga untuk membantu orang lain di seluruh dunia,” demikian pujiannya untuk AS.
‘Blessed’

Sebelum menjadi pendiri dan chief executive di International Strategic Management, yang memberi dukungan pada organisasi yang menciptakan peluang bagi imigran dan komunitas marjinal lainnya, Faris Alami pernah bekerja serabutan di sejumlah tempat dan juga sempat menjadi gelandangan selama beberapa waktu.
Perjalanannya dari wilayah Palestina ke Kota New York selama Perang Teluk pertama di 1990 mendapat simpati audiens. Alami tinggal bersama temannya selama beberapa bulan di AS sebelum membuka bisnis T-shirt yang menggalang dana bagi warga kelaparan di seluruh dunia.
“Saya menghasilkan 400 dollar AS (dalam sebulan),” ujarnya. “Angka tersebut tidaklah besar, tetapi bagi saya, 400 dolar berarti saya bisa makan lebih dari satu kali dalam sehari.”
Dari situ, dia mulai berjualan parfum, menjadi sopir limusin dan mengelola departemen store sebelum meluncurkan perusahaannya yang kini sukses, yang merancang dan menerapkan berbagai program yang mendukung para wirausahawan dan pengembangan usaha kecil.
“Saya merasa diberkahi,” aku Alami.
‘Rumah Terbaik’

Di AS, Anda dapat membangun kehidupan yang Anda inginkan, terang Roy Abdo, karena meski terdapat rintangan Anda dapat menentukan nasib sendiri.
“Saya katakan pada mereka ‘saya akan memberi Anda kunci’ kemudian merekalah yang harus mengambil kunci itu dan membuka pintunya sendiri,” tambahnya.
Orang berdarah Lebanon Amerika ini, yang mengidap disleksia dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), mendirikan Digital Revamp, yang menyusun strategi digital bagi organisasi nirlaba, perusahaan rintisan, serta perusahaan yang masuk dalam Fortune 500. Abdo juga menjabat sebagai chief executive di perusahaan tersebut.
Abdo mengambil penerbangan terakhir yang meninggalkan Lebanon pada 2006 sebelum “Perang Juli” menutup Rafic Hariri International Airport di Beirut. Dia tiba di Yunani untuk bersekolah di Kreta dalam kemitraan selama tiga minggu dengan Georgetown University. Dia tidak dapat kembali ke rumahnya saat program berakhir karena pertikaian di sana. Tetapi alumni di William Jewell College di Missouri membelikannya tiket pesawat dan memberi beasiswa yang menanggung sewa kamar, biaya sekolah dan biaya lainnya agar dia dapat bersekolah di sana.
“Amerika adalah rumah terbaik yang bisa saya dapatkan,” simpulnya.
‘Membalas Budi’

Bagi Akram Elias, menjadi warga AS adalah cara berpikir yang dijabarkan oleh tiga dokumen: Deklarasi Kemerdekaan, Konstitusi AS serta Deklarasi Hak-Hak.
Elias adalah pendiri dan presiden di Capital Communications Group Incorporated. Perusahaan ini berfokus pada diplomasi publik, federalisme, relasi politik, komunikasi lintas budaya serta jaringan bisnis internasional.
Dia mengatakan pada para audiens bahwa di tempat lain, identifikasi didasarkan pada tradisi budaya umum, ikatan darah serta kepercayaan religius. Tetapi di AS, para Bapak Pendiri memiliki gagasan tentang tiga dokumen, sebuah pondasi luar biasa yang mendefinisikan makna dari menjadi seorang rakyat Amerika.
“Anda bisa menikmati segala aspek dari ‘warisan budaya’ kita, tetapi untuk menyatukannya dan menjadi seorang warga Amerika, Anda menganut cara berpikir politis dan pondasi ini,” terang Elias. “Kita tidak memilih untuk memberi hak-hak ini pada satu sama lain. Ini merupakan karunia dari daya kreatif.”
Sebagai warga AS berdarah Lebanon, Elias telah tinggal di area Washington selama nyaris 40 tahun, dan dia sangat bergairah dalam melakukan pekerjaannya.
“Ini adalah cara saya membalas budi,” jelasnya. “Ini adalah kewajiban saya.”