Kebebasan Beragama: Salah Satu Asas Pendirian AS

Sekelompok orang mengenakan jubah keagamaan sambil berdoa (© Fadel Senna/AFP/Getty Images)
Anggota komunitas Yahudi berkumpul di Meknes, Maroko, pada bulan Mei. Situs warisan Yahudi tengah menjalani renovasi atas inisiatif Kerajaan Maroko. (© Fadel Senna/AFP/Getty Images)

Kebebasan beragama adalah nilai inti bagi Amerika Serikat dan merupakan hak manusia yang bersifat universal. Itu juga menjadi prioritas kebijakan luar negeri yang sangat penting, terang Menlu AS Antony Blinken pada 2 Juni.

“Saat kita menghormati hak fundamental dari setiap orang untuk menjalankan kepercayaannya atau memilih untuk tidak memegang kepercayaan, manusia dapat memberikan kontribusi maksimalnya bagi kesuksesan komunitas mereka; seluruh masyarakat akan menjadi lebih baik,” lanjut Blinken.

Tetapi saat pemerintah menolak hak ini, “itu akan memicu ketegangan, menyulut perpecahan, dan kerap berujung kepada ketidakstabilan dan konflik,” tambahnya lagi.

Blinken membuat pernyataan ini saat dia merilis Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2021 dari Deplu AS. Laporan tahunan ini membahas penindasan terhadap kebebasan beragama serta tindakan pemerintah dan kemasyarakatan yang positif. Laporan ini juga membantu pengambilan keputusan AS terkait kebijakan luar negeri yang krusial.

“KEBEBASAN BERAGAMA ADALAH KEBEBASAN PERTAMA YANG DIATUR DALAM DEKLARASI HAK-HAK KONSTITUSI KAMI.”

~ MENTERI LUAR NEGERI AS ANTONY BLINKEN

Kemajuan penting

Sejumlah negara mencatat langkah-langkah yang signifikan dalam mengukuhkan kebebasan beragama pada 2021. Berikut adalah beberapa contohnya:

  • Maroko merestorasi situs warisan Yahudi seperti sinagoge dan akan memasukkan sejarah Yahudi dalam kurikulum sekolah.

     

  • Irak menyambut Paus Fransiskus dalam kunjungan pastoral pertamanya ke negara tersebut, dan sang paus memimpin ibadah umat Kristen dan antaragama di beberapa kota.

     

  • Presiden Timor Leste José Ramos-Horta berikrar untuk membela hak-hak semua warga tanpa memandang latar belakang agama.
Paus melambaikan tangan kepada sekelompok orang (© Vincenzo Pinto/AFP/Getty Images)
Pada 2021, Irak menyambut Paus Fransiskus. Ini merupakan kunjungan pastoral pertamanya ke negara tersebut. (© Vincenzo Pinto/AFP/Getty Images)

“Pada akhirnya, laporan ini bertujuan untuk menyebarluaskan kemajuan seperti ini kepada lebih banyak wilayah di dunia,” kata Blinken.

Pelecehan masih sering terjadi

Sejumlah pemerintah terus memanfaatkan hukum penistaan dan kemurtadan untuk mendiskriminasi kaum minoritas agama. Hukum lainnya, seperti larangan terhadap jubah keagamaan, menghalangi ekspresi kebebasan beragama.

Dalam pernyataannya, Blinken menyoroti beberapa contoh ancaman terhadap kebebasan beragama, seperti:

  • Militer Burma melakukan tindak kejahatan kemanusiaan dan genosida terhadap suku Rohingya yang mayoritas adalah Muslim. Mereka juga menghancurkan masjid, menodai Al-Qur’an, dan terlibat dalam upaya pelecehan lainnya.

     

  • Eritrea hanya mengizinkan empat agama yang dapat dijalankan dengan bebas.

     

  • China terus melakukan kejahatan kemanusiaan dan genosida terhadap suku Uighur yang mayoritas adalah Muslim, serta anggota kelompok minoritas etnis dan agama lainnya.

“Semua masyarakat, termasuk masyarakat kami dan seluruh Eropa, harus berupaya lebih keras dalam memerangi bentuk-bentuk kebencian yang meningkat, termasuk sentimen antisemitisme dan antimuslim,” kata Blinken.

Sebuah keluarga memandang ke arah luar dari dalam pondok (© Christian Sender/Getty Images)
Sebuah keluarga Rohingya yang dipaksa meninggalkan Burma karena kepercayaannya saat berada di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh pada 2018. (© Christian Ender/Getty Images)

Rashad Hussain, dubes keliling AS untuk kebebasan beragama internasional, mengatakan tidak ada komunitas yang kebal terhadap upaya pelecehan.

“Pemerintah harus bersuara dan melindungi kelompok yang rentan dan termarginalkan. Agama dapat menjadi kekuatan yang besar untuk kebaikan, dan tidak seharusnya digunakan untuk menyakiti manusia,” tegasnya.