Memberi Suara Bagi Para Pengungsi Muda di AS

Sekelompok orang berpose (© Edward Grattan)
Para peserta program Narratio Fellow berpose untuk difoto setelah tampil di Royal Assyrian Court Metropolitan Museum pada 31 Juli 2019, dalam kunjungan mereka ke New York City. Ahmed Badr ada di tengah depan, mengenakan dasi. (© Edward Grattan)

Ahmed Badr datang ke AS sebagai pengungsi saat masih berusia 8 tahun.

Rumahnya di Baghdad dibom milisi, sehingga keluarganya terpaksa melarikan diri ke Suriah. Akhirnya dia tiba di Amerika Serikat, dan saat dia remaja, Badr — yang merupakan seorang penulis dan penyair — menemukan sejumlah cara kreatif untuk membantu para pengungsi lainnya menemukan suara mereka.

“Pada awalnya, menyesuaikan diri dengan cara hidup di AS merupakan tantangan bagi saya,” tulisnya di situs webnya, “tetapi saya segera menyadari kekuatan bercerita untuk menginspirasi dan menyatukan banyak orang.”

Badr mendirikan Narratio saat dia kelas 10. LSM ini merupakan wadah daring untuk mendukung, menghubungkan, serta menyoroti kreativitas para pengungsi muda.

“Saya mendirikan Narratio untuk memastikan ada ruang dan kesempatan bagi para remaja yang kehilangan rumah mereka untuk berbagi kisah dengan cara mereka sendiri,” tambahnya.

Pada Hari Pengungsi Sedunia, 20 Juni, PBB merayakan kreativitas para remaja telantar seperti mereka yang bekerja dengan Badr di Narratio.

Narratio menawarkan beasiswa, lokakarya, serta kemitraan dengan organisasi lain guna memberi peluang kepada para remaja.

Pada 2019, lewat kemitraan dengan Syracuse University dan Metropolitan Museum of Art di New York, Badr meluncurkan program beasiswa bagi para remaja telantar untuk mengkespresikan diri mereka lewat penceritaan — dan menggunakan koleksi museum tersebut.

Kelompok pertama yang terdiri dari 11 peserta menjelajahi Zona Timur Dekat Kuno di Metropolitan Museum of Art, untuk mengkaji sejumlah objek dengan saksama. Para peserta memberikan interpretasi baru terhadap kisah di balik objek-objek tersebut dan menulis ulang label museum dengan puisi.

Ekshibisi penutup mereka, Intertwined Journeys, juga menyertakan foto-foto yang mendokumentasikan pengalaman mereka selama program tersebut.

“Saya dapat mengekspresikan pengalaman saya sebagai pengungsi dari Suriah dan membagikannya kepada mereka yang ingin memahami lebih dalam apa arti menjadi seorang pengungsi,” terang Nidaa Aljabbarin, salah satu peserta program 2019. “Setelah program ini, saya terinspirasi untuk menulis lebih banyak dan mengekspresikan perasaan saya lewat tulisan.”

Pada 2020, program ini berfokus pada pembuatan film otobiografi, bermitra dengan Syracuse University. Untuk terus membantu para pengungsi muda menemukan suara mereka, Badr berencana membuat dua kelompok secara serentak tahun ini: satu kelompok berfokus pada fotografi, bermitra dengan National Geographic, dan kelompok lainnya berfokus pada puisi. Kedua kelompok akan berkolaborasi dengan Metropolitan Museum of Art.

Felone Nganga, salah satu dari enam peserta dari 2020, tiba bersama saudara perempuannya di AS pada November 2019 dari Republik Demokratik Kongo. “Saya percaya bahwa menceritakan kisah saya akan membantu orang lain,” ujarnya.