Phyllis Oakley: Pionir Bagi Para Perempuan dalam Dunia Diplomasi

Phyllis Oakley berdiri di depan pintu rumahnya (© Paul Hosefros/The New York Times/Redux)
Phyllis Oakley di depan rumahnya di Washington, 1999, setahun setelah pensiun dari Deplu AS (© Paul Hosefros/The New York Times/Redux)

Artikel ini ditulis oleh Wakil Jubir Utama Jalina Porter.

Saya memiliki pekerjaan yang sangat penting dan berarti. Sebagai Wakil Jubir Utama Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, saya menjelaskan kebijakan luar negeri AS kepada para anggota pers domestik dan asing, bagi warga Amerika maupun dunia.

Pekerjaan ini penting sekaligus menyenangkan, dan saya menyukainya. Tetapi saya mungkin tidak akan pernah memiliki kesempatan memberikan kontribusi ini jika bukan karena Phyllis Oakley, yang bertugas di dinas luar negeri AS sebelum saya lahir. Kini, perempuan telah menjabat sebagai menteri luar negeri dan memegang jabatan senior di departemen ini. Kami semua berutang budi kepada Phyllis Oakley atas prestasi dan dampak yang diberikannya sejak dini sebagai pemimpin perempuan tingkat tinggi di departemen ini.

Phyllis Oakley mulai bertugas di dinas luar negeri pada 1957 dan tengah menunggu tugas luar negeri pertamanya saat dia bertemu Robert Oakley, yang kemudian menjadi suaminya. Semasa jabatannya, terdapat peraturan tidak tertulis bahwa petugas dinas luar negeri (atau dalam bahasa Inggris disingkat FSO) perempuan harus mundur dari jabatannya jika dia menikah. “Itu adalah budaya yang diterima pada masa itu. Kami menerima diskriminasi tersebut tanpa terlalu memikirkannya,” kata Oakley.

Meski bukan lagi seorang FSO, selama 16 tahun Oakley menemani suaminya menempati sejumlah pos termasuk Sudan, Pantai Gading, dan Prancis. Selain harus membesarkan dua orang anak dan mengurus perpindahan ke tempat asing, Oakley juga membantu menyelenggarakan acara diplomatik sang suami. Ekspektasi yang berlaku kala itu terhadap staf dinas luar negeri yang menikah adalah “beli satu dapat dua”.

Pria yang sedang duduk berjabat tangan dengan seorang perempuan (foto seizin Jalina Porter)
George Schultz dan Jalina Porter (foto seizin Jalina Porter)

Tak lama setelahnya, lanskap budaya Amerika mulai berubah. Pada 1971, Deplu AS mencabut larangan menikah bagi para FSO perempuan. Oakley secara resmi kembali masuk ke dinas luar negeri pada 1974, dan menjalankan tugas di Washington lalu di Kinshasa sebagai bagian dari sebuah pasangan tandem, sementara suaminya menjabat sebagai Dubes AS untuk Zaire (saat ini dikenal dengan nama Republik Demokratis Kongo).

Pada 1986, Menlu AS George P. Shultz mengangkatnya sebagai Wakil Jubir Deplu AS, dan menjadikannya perempuan pertama yang memegang posisi yang saya tempati saat ini.

Tiga puluh lima tahun kemudian, saya ditunjuk oleh Presiden Joseph R. Biden Jr. sebagai perempuan Afrika Amerika pertama yang memegang jabatan Wakil Jubir Utama Deplu AS, hal ini membuka jalan saya sendiri yang amat penting bagi saya.

Sebelum pengangkatan saya, Menlu Schultz adalah satu-satunya menteri luar negeri yang pernah bekerja bersama saya saat saya masih bertugas sebagai anggota keamanan nasional di Hoover Institution di Stanford University. Kerja sama ini menegaskan kembali hal yang saya ketahui sejak kali pertama saya bertemu para FSO saat bertugas di Peace Corps di Kamboja: saya perlu mewakili negara dengan bekerja di Deplu AS. Masa tugas saya di sana juga telah mengukuhkan keyakinan saya bahwa semua perempuan memiliki kemampuan untuk memberdayakan perempuan dan anak perempuan di sekitarnya, tanpa peduli apa peranan yang dipegangnya.

Dari para kolega di Deplu AS, saya mengetahui bahwa Oakley piawai dalam pekerjaannya. Meski banyak hal telah berubah antara waktu dia masih memegang jabatan ini hingga sekarang, setiap harinya dia pasti sibuk mempersiapkan diri menghadapi berbagai pertanyaan mendesak dari wartawan, dengan cara berkonsultasi bersama para asisten menteri dan tim wartawan dari badan regional dan fungsional kami, serta bekerja sama dengan para kolega antarlembaga kami. Untungnya, pada masa itu belum ada yang namanya Twitter, dan berita sela datang pada waktu yang terduga setiap harinya.

Selepas masa jabatannya sebagai wakil jubir, Oakley kemudian bertugas di Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) di Pakistan sementara suaminya menjabat sebagai dubes pada waktu yang bersamaan. Setelah kembali ke Washington, dia bekerja di kantor dinas pengungsi dan kariernya meningkat tajam, hingga dua kali menjabat sebagai asisten menteri.

Phyllis Oakley telah membuka pintu peluang bagi banyak perempuan di departemen ini, termasuk saya. Jubir Deplu AS Ned Price mengatakan bahwa warisannya “Melakukan apa yang seharusnya dilakukan sejak lama: memastikan bahwa para perempuan yang menikah punya hak yang sama dengan rekan sejawatnya yang berjenis kelamin laki-laki.”

Kita semua tahu bahwa diversitas, kesetaraan, inklusi, serta aksesibilitas menjadikan kebijakan luar negeri kita lebih kokoh, cerdas, kreatif, dan inovatif. Kita menghasilkan talenta dan kontribusi terbaik saat kita menyambut dan menerima semua orang, tanpa memandang gender, ras, usia, ataupun siapa yang mereka cintai. Sebagai perempuan yang telah dianugerahi kesempatan untuk mewakili Deplu AS, kita juga memiliki kewajiban untuk berupaya menjadikan dunia tempat yang lebih baik, yang dimulai dari dalam negeri dengan tenaga kerja kita. Saat membela keadilan dan kesetaraan gender, kita juga membela keadilan dan hak asasi manusia, dan pada akhirnya memajukan perdamaian dan keamanan bagi semua manusia.

Kepada semua perempuan di Deplu AS yang bertugas dengan semangat kebaikan, inklusi, kecemerlangan, dan iktikad, saya berterima kasih atas upaya Anda dan inspirasi yang Anda berikan kepada generasi para perempuan pemberani yang akan datang.